Indonesia Menulis » Lomba Menulis Artikel “SANG GURU” Memperingati Hardiknas 2013
Indonesia Menulis » Lomba Menulis Artikel “SANG GURU” Memperingati Hardiknas 2013
05.29 |
Comments(0)
Biografi Khalifah HARUN AR-RASYID
05.43 |
Harun
Ar Rasyid Amir
Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang dikenal
berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi
dan jenderal veteran.
Era keemasan Islam (The Golden Ages of Islam) tertoreh pada masa
ke pemimpinannya. Perhatiannya yang begitu besar terhadap kesejahteraan rakyat
serta kesuksesannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi,
ekonomi, perdagangan, politik, wilayah kekuasaan, serta peradaban Islam telah
membuat Dinasti Abbasiyah menjadi salah satu negara adikuasa dunia di abad ke-8
M.
Amir para khalifah Abbasiyah itu bernama Harun Ar-Rasyid. Dia
adalah raja agung pada zamannya. Konon, kehebatannya hanya dapat dibandingkan
dengan Karel Agung (742 M – 814 M) di Eropa. Pada masa kekuasaannya, Baghdad
ibu kota Abbasiyah – menjelma menjadi metropolitan dunia. Jasanya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan peradaban hingga abad ke-21 masih dirasakan dan dinikmati
masyarakat dunia.
Figur Harun Ar-Rasyid yang legendaris ini terlahir pada 17 Maret
763 M di Rayy, Teheran, Iran. Dia adalah putera dari Khalifah Al-Mahdi bin Abu
Ja’far Al-Mansur khalifah Abbasiyah ketiga. Ibunya bernama Khaizuran seorang
wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan dan dinikahi Al-Mahdi. Sang ibu
sangat berpengaruh dan berperan besar dalam kepemimpinan Al-Mahdi dan Harun
Ar-Rasyid.
Sejak belia, Harun Ar-Rasyid ditempa dengan pendidikan agama
Islam dan pemerintahan di lingkungan istana. Salah satu gurunya yang paling
populer adalah Yahya bin Khalid. Berbekal pendidikan yang memadai, Harun pun
tumbuh menjadi seorang terpelajar. Harun Ar-Rasyid memang dikenal sebagai pria
yang berotak encer, berkepribadian kuat, dan fasih dalam berbicara.
Ketika tumbuh menjadi seorang remaja, Harun Ar-Rasyid sudah
mulai diterjunkan ayahnya dalam urusan pemerintahan. Kepemimpinan Harun ditempa
sang ayah ketika dipercaya memimpin ekspedisi militer untuk menaklukk Bizantium
sebanyak dua kali. Ekspedisi militer pertama dipimpinnya pada 779 M – 780 M.
Dalam ekspedisi kedua yang dilakukan pada 781-782 M, Harun memimpin pasukannya
hingga ke pantai Bosporus. Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang
dikenal berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat
tinggi dan jenderal veteran. Dari mereka pula, Harun banyak belajar tentang
strategi pertempuran.
Sebelum dinobatkan sebagai khalifah, Harun didaulat ayahnya
menjadi gubernur di As-Siafah tahun 779 M dan di Maghrib pada 780 M. Dua tahun
setelah menjadi gubernur, sang ayah mengukuhkannya sebagai putera mahkota untuk
menjadi khalifah setelah saudaranya, Al-Hadi. Pada 14 Septempber 786 M, Harun
Ar-Rasyid akhirnya menduduki tahta tertinggi di Dinasti Abbasiyah sebagai
khalifah kelima.
Harun Ar-Rasyid berkuasa selama 23 tahun (786 M – 809 M). Selama
dua dasawarsa itu, Harun Al-Rasyid mampu membawa dinasti yang dipimpinnya ke
peuncak kejayaan. Ada banyak hal yang patut ditiru para pemimpin Islam di abad
ke-21 ini dari sosok raja besar Muslim ini. Sebagai pemimpin, dia menjalin
hubungan yang harmonis dengan para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan
seniman.
Ia kerap mengundang para tokoh informal dan profesional itu
keistana untuk mendiskusikan berbagai masalah. Harun Ar-Rasyid begitu menghagai
setiap orang. Itulah salah satu yang membuat masyarakat dari berbagai golongan
dan status amat menghormati, mengagumi, dan mencintainya. Harun Ar-Rasyid
adalah pemimpin yang mengakar dan dekat dengan rakyatnya. Sebagai seorang
pemimpin dan Muslim yang taat, Harun Ar-Rasyid sangat rajin beribadah. Konon,
dia terbiasa menjalankan shalat sunat hingga seratus rakaat setiap harinya. Dua
kali dalam setahun, khalifah kerap menunaikan ibadah haji dan umrah dengan
berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah. Ia tak pernah lupa mengajak para ulama
ketika menunaikan rukun Islam kelima.
Jika sang khalifah tak berkesempatan untuk menunaikan ibadah
haji, maka dihajikannya sebanyak tiga ratus orang di Baghdad dengan biaya penuh
dari istana. Masyarakat Baghdad merasakan dan menikmati suasana aman dan damai
di masa pemerintahannya. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harus Ar-Rasyid
tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang
berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam
hidupnya. Tanpa ragu-ragu Harun Ar- Rasyid memecat dan memenjarakan Yahya bin
Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).
Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,87
juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang
dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya.
Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya. Konon, Harun
Ar-Rasyid adalah khalifah yang berprawakan tinggi, bekulit putih, dan tampan.
Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang
luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di
sebelah Timur. Meski begitu, tak mudah bagi Harun Ar-Rasyid untuk menjaga
keutuhan wilayah yang dikuasainya.
Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era
kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi di masa kekuasaannya antara
lain; pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M);
pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M); serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin
Abi Taglib (792 M). Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda
adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Di masa
kepemimpinannya terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa.
Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam.
Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan perabadan. Pada era itu pula
berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan
berdirinya Baitul Hikmah – perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu
pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian
yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan. Sang khalifah tutup usia pada
24 Maret 809 M pada usia yang terbilang muda 46 tahun. Meski begitu pamor dan
popularitasnya masih tetap melegenda hingga kini. Namanya juga diabadikan
sebagai salah satu tokoh dalam kitab 1001 malam yang amat populer. Pemimpin
yang baik akan tetap dikenang sepanjang masa.
Pemimpin yang Prorakyat
Di era modern ini begitu sulit menemukan pemimpin yang
benar-benar mencintai dan berpihak kepada rakyatnya. Sosok pemimpin yang
mencintai rakyat pastilah akan dicintai dan dikagumi rakyatnya. Salah seorang
pemimpin Muslim yang terbilang langka itu hadir di abad ke-8 M. Pemimpin yang
pro rakyat itu bernama Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan
kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan negara,
Harun Ar-Rasyid berupaya dengan keras memajukan perekonomian serta perdagangan.
Pertanian juga berkembang dengan begitu pesat, lantaran khalifah begitu mena
ruh perhatian yang besar dengan membangun saluran irigasi. Langkah pemerintahan
Harun Ar-Rasyid yang serius ingin menyejahterakan rakyatnya itu mendapat
dukungan rakyatnya. Kemajuan dalam sektor perekonomian, perdagangan dan
pertanian itu membuat Baghdad menjadi pusat perdagangan terbesar dan teramai di
dunia saat itu.
Dengan kepastian hukum serta keamanan yang terjamin,
berbondong-bondong para saudagar dari berbagai penjuru dunia bertransaksi
melakukan pertukaan barang dan uang di Baghdad. Negara pun memperoleh pemasukan
yang begitu besar dari perekonomian dan perdagangan itu serta tentunya dari
pungutan pajak. Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang
khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk pembangunan dan menyejahterakan
rakyatnya. Kota Baghdad pun dibangun dengan indah dan megah. Gedunggedung
tinggi berdiri, sarana peribadatan tersebar, sarana pendidikan pun menjamur,
dan fasilitas kesehatan gratis pun diberikan dengan pelayanan yang prima.
Sarana umum lainnya seperti kamar mandi umum, taman, jalan serta
pasar juga dibangun dengan kualitas yang sangat baik. Khalifah pun membiayai
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan serta penelitian.
Negara menempatkan para ulama dan ilmuwan di posisi yang tinggi dan mulia.
Mereka dihargai dengan memperoleh gaji yang sangat ting gi. Setiap tulisan dan
penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara.
Sangat pantas bila keluarga khalifah dan pejabat negara lainnya
hidup dalam segala kemewahan pada zamannya. Sebab, kehidupan rakyatnya juga
berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Tak seperti pemimpin kebanyakan yang
hidup dengan kemewahan di atas penderitaan rakyatnya. Sampai kapan pun, sosok
Harun Ar-Rasyid layak ditiru dan dijadikan panutan para pemim – pin dan calon
pemimpin yang ingin mencitai dan berpihak pada rakyatnya.
Jejak Hidup Sang Khalifah Agung Tahun 763 M : Pada 17 Maret,
Harun terlahir di Rayy.
Tahun 780 M : Memimpin pasukan militer melawan Bizantium.
Tahun 782 M: Kembali memimpin pa – suk an melawan Bizantium
hingga ke Bos porus.
Tahun 786 M: 14 September saudaranya Al-Hadi – khalifah keempat
meninggal dunia.
Tahun 791 M: Harun kembali berperang melawan Bizantium.
Tahun 795 M: Harun meredam pembenrontakan Syiah dan memenjarakan
Musa Al-Kazim. Tahun 796 M: Harun memindahkan istana dan pusat
pemerintahan dari Baghdad ke Ar-Raqqah.
Tahun 800 M: Harun mengangkat Ibrahim ibnu Al-Aghlab sebagai
gubernur Tunisia.
Tahun 802 M: Harun menghadiahkan dua gajah albino ke Charlemagne
sebagai hadiah diplomatik.
Tahun 803 M: Yahya bin Khalid (perdana menteri yang dipecat
karena korupsi meninggal dunia.
Tahun 807 M: Kekuatan Harun mengusai Siprus.
Tahun 809 M: Harun meninggal dunia ketika melakukan perjalanan
di bagian timur wilayah kekuasaannya
Refrens : http://newsflashridho.blogspot.com/
Sholat Khusyu'
20.25 |
Dua Kunci Utama Menuju Shalat yang Khusyu'
Jika shalat khusyu tidak berhasil diraih, maka shalat menjadi rutinitas yang menjemukan. Karena itu, belajar shalat khusyu merupakan solusi agar shalat tidak lagi menjadi beban harian. Jika orang lain dapat menghadirkan ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan melalui teraphy, meditasi dan sejenisnya, maka shalat khusyu lebih mampu mendatangkan lebih dahsyat dari itu.
Contoh nyata adalah sayidina Ali yang tidak merasakan sakit sedikitpun ketika anak panah yang menancapnya dicabut saat melaksanakan shalat. Hal ini hanya dapat dijelaskan dengan satu alasan: shalat khusyu jauh lebih dahsyat dibanding teraphy atau meditasi manapun. Anda tentu setuju, bukan?
Ibadah shalat adalah rangkaian gerakan dan posisi tubuh yang diciptakan Allah. Allah sang pencipta manusia pasti tahu persis “teraphy” yang paling cocok dan bermanfaat untuk tubuh manusia. Itulah shalat, sebuah rangkaian cara yang merupakan anugerah dari Allah untuk memperbaiki tubuh dan hati manusia, untuk kebahagiaan manusia.
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu yang khusyu dalam shalatnya” (QS Al Muminun: 1-2).
bukti bahwa shalat adalah anugerah Allah untuk kebahagian manusia. Ayat ini juga memberi kepastian bahwa shalat khusyu adalah anugerah untuk seluruh mukmin, untuk kita semua. Shalat khusyu bukan hanya untuk para nabi dan sahabatnya.
Kisah Sayidina Ali di atas adalah salah satu bukti kenikmatan shalat khusyu. Bukti tersebut, tentu bukanlah sebagai satu-satunya kriteria shalat khusyu. Kalau kita anggap shalat khusyu harus seperti itu, maka kita akan merasa bahwa shalat khusyu amat sulit dijangkau. Bukankah Allah telah berjanji tidak akan membebani kita, kecuali kita disanggupkan-Nya?
Kita akan mendapatkan kadar kenikmatan shalat khusyu yang berbeda-beda, sesuai dengan ilmu dan kegigihan usaha kita masing-masing.
“Sesungguhnya ada seseorang yang mengerjakan shalat dimana dia tidak mendapatkan nilai shalatnya
kecuali 1/10, 1/9, 1/8, 1/6, 1/5, 1/4, 1/3,atau 1/2-nya” (HR Abu Daud, Nasai).
kecuali 1/10, 1/9, 1/8, 1/6, 1/5, 1/4, 1/3,atau 1/2-nya” (HR Abu Daud, Nasai).
Jadi, dua kunci dasar untuk meraih shalat khusyu adalah:
- 1. Yakin, bahwa shalat khusyu dapat diraih oleh siapa saja. Tanpa keyakinan ini, maka gerbang menuju shalat khusyu tertutup rapat. Sebab, seseorang akan berusaha mendapatkan sesuatu hanya untuk sesuatu yang yakin dapat diraihnya, bukan?
- 2. Gigih dalam belajar shalat khusyu. Kegigihan inilah yang menentukan tingkat keberhasilan kita. Jika kita malas dan asal-asalan dalam belajar shalat, jangan pernah bermimpi dapat meraih nikmatnya shalat khusyu.
Dinasti Umayyah
19.30 |
Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Umayah
Pasca Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Peta kekuasaan Dinati Umayah |
Bani Umayyah berasal dari nama “ umayyah bin abdi syam bin abdul manaf” , di mana hasyim masih keturunan abdul manaf dan antara kedua nya selalu bertikai dalam memperolaeh kekuasaan sehingga sampai pada keturunan nya pun tidak pernah ada kekompakan antara keduanya.
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti umayah menjadi dua yaitu pertama, Dinasti Umayah yang dirintis dan didirikan oleh muawiyah bin abi sufyan yang berpusat di damaskus (siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki ).Dan kedua , dinasti bani umayah di andalusia (siberia) yang pada awal nya merupakan wilayah taklukkan umayah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman walid bin abdul malik, kemudian di ubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan dinasti bani umayah di damaskus.
Perintisan dinasti umayah dilakukan oleh muawiyah dengan cara menolak membai’at ali,ber perang melawan ali,dan melakukan perdamaian (tahkim ) dengan pihak ali yang secara politik sangat menguntungkan mu’awiyah. Kebeuntungan mu’awiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak khawarij membunuh khalifah ali R.A.jabatan khalifah setelah Ali R.A.wafat, di pegang oleh putranya selama bebera bulan . akan tetapi , karena tidak di dukung oleh pasukan yang kuat, sedangkan pihak mu’awiyah semakin kuat. Akhirnya mu’awiyah melakukan perjanjian dengan Hasan bin ali.Isi perjaanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan di serahkan kepada umat islam setelah masa mu’awiyah berahir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 661 M. (41 H ).dan tahun tersebut di sebut am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan umat islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik, yaitu mu’awiyah dan mu’awiyah mengubah sistem khilafah menjadi kerajaan.
Pada masa itu, Umat islam telah bersentuhan dengan peradaban persia dan bizantium. Oleh karena itu, mu’awiyah juga bermaksud meniru suksesi kepemimpinan yang ada di persia dan bizantium yaitu monarki ( kerajaan ).Akan tetapi , mu’awiyah tetap menggunakan gelar khalifah untuk pemimpin pusat dengan makna konotatif yang di perbaharui.
Jika pada zaman khalifah yang empat , khalifah (pengganti) yang di maksudkan adalah khalifah Rasul S.A.W. (khalifah al rasul) adalah pemimpin masyarakat;sedangkan pada zaman bani umayyah, yang di maksudkan adalah khalifah Allah yaitu pemimpin atau penguasa yang di angkat oleh Allah.
Nama-nama raja-raja yang berkuasa pada dinasti Umayyah I ini berjumlah 14,
antara lain :
- Mu’awiyah I bin Abi Sufyan (41-61H/661-680M)
- Yazid bin Mu’awiyah (61-64H/680-683M)
- Mu’awiyah II bin Yazid (64-65H/683-684M)
- Marwan bin Hakam (65-66H/684-685M)
- Abdul Malik bin Marwan (66-86H/685-705M)
- Al-Walid bin Abdul Malik (86-97H/705-715M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (97-99H/715-717M)
- Umar bin Abdul Azis (99-102H/717-720M)
- Yazid bin Abdul Malik (102-106H/720-724M)
- Hisyam bin Abdul Malik (106-126H/724-743M)
- Al-Walid II bin Yazid (126-127H/743-744M)
- Yazid III bin Walid(127H/744M)
- Ibrahim bin Malik (127H/744M)
- Marwan II bin Muhammad (127-133H/744-750M)
Sang Imam Syafi'i
02.43 |
Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau. Di Yaman nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang Syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu haidts. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, aqidah, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
- Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
- Siyar A’lam an-Nubala’
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-’Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
***
Sumber: Majalah Fatawa
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
About Ibnu Rusyd
23.03 |
Langganan:
Postingan (Atom)
Biografi Khalifah HARUN AR-RASYID
Harun
Ar Rasyid Amir
Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang dikenal
berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi
dan jenderal veteran.
Era keemasan Islam (The Golden Ages of Islam) tertoreh pada masa
ke pemimpinannya. Perhatiannya yang begitu besar terhadap kesejahteraan rakyat
serta kesuksesannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi,
ekonomi, perdagangan, politik, wilayah kekuasaan, serta peradaban Islam telah
membuat Dinasti Abbasiyah menjadi salah satu negara adikuasa dunia di abad ke-8
M.
Amir para khalifah Abbasiyah itu bernama Harun Ar-Rasyid. Dia
adalah raja agung pada zamannya. Konon, kehebatannya hanya dapat dibandingkan
dengan Karel Agung (742 M – 814 M) di Eropa. Pada masa kekuasaannya, Baghdad
ibu kota Abbasiyah – menjelma menjadi metropolitan dunia. Jasanya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan peradaban hingga abad ke-21 masih dirasakan dan dinikmati
masyarakat dunia.
Figur Harun Ar-Rasyid yang legendaris ini terlahir pada 17 Maret
763 M di Rayy, Teheran, Iran. Dia adalah putera dari Khalifah Al-Mahdi bin Abu
Ja’far Al-Mansur khalifah Abbasiyah ketiga. Ibunya bernama Khaizuran seorang
wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan dan dinikahi Al-Mahdi. Sang ibu
sangat berpengaruh dan berperan besar dalam kepemimpinan Al-Mahdi dan Harun
Ar-Rasyid.
Sejak belia, Harun Ar-Rasyid ditempa dengan pendidikan agama
Islam dan pemerintahan di lingkungan istana. Salah satu gurunya yang paling
populer adalah Yahya bin Khalid. Berbekal pendidikan yang memadai, Harun pun
tumbuh menjadi seorang terpelajar. Harun Ar-Rasyid memang dikenal sebagai pria
yang berotak encer, berkepribadian kuat, dan fasih dalam berbicara.
Ketika tumbuh menjadi seorang remaja, Harun Ar-Rasyid sudah
mulai diterjunkan ayahnya dalam urusan pemerintahan. Kepemimpinan Harun ditempa
sang ayah ketika dipercaya memimpin ekspedisi militer untuk menaklukk Bizantium
sebanyak dua kali. Ekspedisi militer pertama dipimpinnya pada 779 M – 780 M.
Dalam ekspedisi kedua yang dilakukan pada 781-782 M, Harun memimpin pasukannya
hingga ke pantai Bosporus. Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang
dikenal berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat
tinggi dan jenderal veteran. Dari mereka pula, Harun banyak belajar tentang
strategi pertempuran.
Sebelum dinobatkan sebagai khalifah, Harun didaulat ayahnya
menjadi gubernur di As-Siafah tahun 779 M dan di Maghrib pada 780 M. Dua tahun
setelah menjadi gubernur, sang ayah mengukuhkannya sebagai putera mahkota untuk
menjadi khalifah setelah saudaranya, Al-Hadi. Pada 14 Septempber 786 M, Harun
Ar-Rasyid akhirnya menduduki tahta tertinggi di Dinasti Abbasiyah sebagai
khalifah kelima.
Harun Ar-Rasyid berkuasa selama 23 tahun (786 M – 809 M). Selama
dua dasawarsa itu, Harun Al-Rasyid mampu membawa dinasti yang dipimpinnya ke
peuncak kejayaan. Ada banyak hal yang patut ditiru para pemimpin Islam di abad
ke-21 ini dari sosok raja besar Muslim ini. Sebagai pemimpin, dia menjalin
hubungan yang harmonis dengan para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan
seniman.
Ia kerap mengundang para tokoh informal dan profesional itu
keistana untuk mendiskusikan berbagai masalah. Harun Ar-Rasyid begitu menghagai
setiap orang. Itulah salah satu yang membuat masyarakat dari berbagai golongan
dan status amat menghormati, mengagumi, dan mencintainya. Harun Ar-Rasyid
adalah pemimpin yang mengakar dan dekat dengan rakyatnya. Sebagai seorang
pemimpin dan Muslim yang taat, Harun Ar-Rasyid sangat rajin beribadah. Konon,
dia terbiasa menjalankan shalat sunat hingga seratus rakaat setiap harinya. Dua
kali dalam setahun, khalifah kerap menunaikan ibadah haji dan umrah dengan
berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah. Ia tak pernah lupa mengajak para ulama
ketika menunaikan rukun Islam kelima.
Jika sang khalifah tak berkesempatan untuk menunaikan ibadah
haji, maka dihajikannya sebanyak tiga ratus orang di Baghdad dengan biaya penuh
dari istana. Masyarakat Baghdad merasakan dan menikmati suasana aman dan damai
di masa pemerintahannya. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harus Ar-Rasyid
tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang
berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam
hidupnya. Tanpa ragu-ragu Harun Ar- Rasyid memecat dan memenjarakan Yahya bin
Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).
Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,87
juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang
dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya.
Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya. Konon, Harun
Ar-Rasyid adalah khalifah yang berprawakan tinggi, bekulit putih, dan tampan.
Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang
luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di
sebelah Timur. Meski begitu, tak mudah bagi Harun Ar-Rasyid untuk menjaga
keutuhan wilayah yang dikuasainya.
Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era
kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi di masa kekuasaannya antara
lain; pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M);
pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M); serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin
Abi Taglib (792 M). Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda
adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Di masa
kepemimpinannya terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa.
Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam.
Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan perabadan. Pada era itu pula
berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan
berdirinya Baitul Hikmah – perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu
pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian
yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan. Sang khalifah tutup usia pada
24 Maret 809 M pada usia yang terbilang muda 46 tahun. Meski begitu pamor dan
popularitasnya masih tetap melegenda hingga kini. Namanya juga diabadikan
sebagai salah satu tokoh dalam kitab 1001 malam yang amat populer. Pemimpin
yang baik akan tetap dikenang sepanjang masa.
Pemimpin yang Prorakyat
Di era modern ini begitu sulit menemukan pemimpin yang
benar-benar mencintai dan berpihak kepada rakyatnya. Sosok pemimpin yang
mencintai rakyat pastilah akan dicintai dan dikagumi rakyatnya. Salah seorang
pemimpin Muslim yang terbilang langka itu hadir di abad ke-8 M. Pemimpin yang
pro rakyat itu bernama Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan
kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan negara,
Harun Ar-Rasyid berupaya dengan keras memajukan perekonomian serta perdagangan.
Pertanian juga berkembang dengan begitu pesat, lantaran khalifah begitu mena
ruh perhatian yang besar dengan membangun saluran irigasi. Langkah pemerintahan
Harun Ar-Rasyid yang serius ingin menyejahterakan rakyatnya itu mendapat
dukungan rakyatnya. Kemajuan dalam sektor perekonomian, perdagangan dan
pertanian itu membuat Baghdad menjadi pusat perdagangan terbesar dan teramai di
dunia saat itu.
Dengan kepastian hukum serta keamanan yang terjamin,
berbondong-bondong para saudagar dari berbagai penjuru dunia bertransaksi
melakukan pertukaan barang dan uang di Baghdad. Negara pun memperoleh pemasukan
yang begitu besar dari perekonomian dan perdagangan itu serta tentunya dari
pungutan pajak. Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang
khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk pembangunan dan menyejahterakan
rakyatnya. Kota Baghdad pun dibangun dengan indah dan megah. Gedunggedung
tinggi berdiri, sarana peribadatan tersebar, sarana pendidikan pun menjamur,
dan fasilitas kesehatan gratis pun diberikan dengan pelayanan yang prima.
Sarana umum lainnya seperti kamar mandi umum, taman, jalan serta
pasar juga dibangun dengan kualitas yang sangat baik. Khalifah pun membiayai
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan serta penelitian.
Negara menempatkan para ulama dan ilmuwan di posisi yang tinggi dan mulia.
Mereka dihargai dengan memperoleh gaji yang sangat ting gi. Setiap tulisan dan
penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara.
Sangat pantas bila keluarga khalifah dan pejabat negara lainnya
hidup dalam segala kemewahan pada zamannya. Sebab, kehidupan rakyatnya juga
berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Tak seperti pemimpin kebanyakan yang
hidup dengan kemewahan di atas penderitaan rakyatnya. Sampai kapan pun, sosok
Harun Ar-Rasyid layak ditiru dan dijadikan panutan para pemim – pin dan calon
pemimpin yang ingin mencitai dan berpihak pada rakyatnya.
Jejak Hidup Sang Khalifah Agung Tahun 763 M : Pada 17 Maret,
Harun terlahir di Rayy.
Tahun 780 M : Memimpin pasukan militer melawan Bizantium.
Tahun 782 M: Kembali memimpin pa – suk an melawan Bizantium
hingga ke Bos porus.
Tahun 786 M: 14 September saudaranya Al-Hadi – khalifah keempat
meninggal dunia.
Tahun 791 M: Harun kembali berperang melawan Bizantium.
Tahun 795 M: Harun meredam pembenrontakan Syiah dan memenjarakan
Musa Al-Kazim. Tahun 796 M: Harun memindahkan istana dan pusat
pemerintahan dari Baghdad ke Ar-Raqqah.
Tahun 800 M: Harun mengangkat Ibrahim ibnu Al-Aghlab sebagai
gubernur Tunisia.
Tahun 802 M: Harun menghadiahkan dua gajah albino ke Charlemagne
sebagai hadiah diplomatik.
Tahun 803 M: Yahya bin Khalid (perdana menteri yang dipecat
karena korupsi meninggal dunia.
Tahun 807 M: Kekuatan Harun mengusai Siprus.
Tahun 809 M: Harun meninggal dunia ketika melakukan perjalanan
di bagian timur wilayah kekuasaannya
Refrens : http://newsflashridho.blogspot.com/
Sholat Khusyu'
Dua Kunci Utama Menuju Shalat yang Khusyu'
Jika shalat khusyu tidak berhasil diraih, maka shalat menjadi rutinitas yang menjemukan. Karena itu, belajar shalat khusyu merupakan solusi agar shalat tidak lagi menjadi beban harian. Jika orang lain dapat menghadirkan ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan melalui teraphy, meditasi dan sejenisnya, maka shalat khusyu lebih mampu mendatangkan lebih dahsyat dari itu.
Contoh nyata adalah sayidina Ali yang tidak merasakan sakit sedikitpun ketika anak panah yang menancapnya dicabut saat melaksanakan shalat. Hal ini hanya dapat dijelaskan dengan satu alasan: shalat khusyu jauh lebih dahsyat dibanding teraphy atau meditasi manapun. Anda tentu setuju, bukan?
Ibadah shalat adalah rangkaian gerakan dan posisi tubuh yang diciptakan Allah. Allah sang pencipta manusia pasti tahu persis “teraphy” yang paling cocok dan bermanfaat untuk tubuh manusia. Itulah shalat, sebuah rangkaian cara yang merupakan anugerah dari Allah untuk memperbaiki tubuh dan hati manusia, untuk kebahagiaan manusia.
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu yang khusyu dalam shalatnya” (QS Al Muminun: 1-2).
bukti bahwa shalat adalah anugerah Allah untuk kebahagian manusia. Ayat ini juga memberi kepastian bahwa shalat khusyu adalah anugerah untuk seluruh mukmin, untuk kita semua. Shalat khusyu bukan hanya untuk para nabi dan sahabatnya.
Kisah Sayidina Ali di atas adalah salah satu bukti kenikmatan shalat khusyu. Bukti tersebut, tentu bukanlah sebagai satu-satunya kriteria shalat khusyu. Kalau kita anggap shalat khusyu harus seperti itu, maka kita akan merasa bahwa shalat khusyu amat sulit dijangkau. Bukankah Allah telah berjanji tidak akan membebani kita, kecuali kita disanggupkan-Nya?
Kita akan mendapatkan kadar kenikmatan shalat khusyu yang berbeda-beda, sesuai dengan ilmu dan kegigihan usaha kita masing-masing.
“Sesungguhnya ada seseorang yang mengerjakan shalat dimana dia tidak mendapatkan nilai shalatnya
kecuali 1/10, 1/9, 1/8, 1/6, 1/5, 1/4, 1/3,atau 1/2-nya” (HR Abu Daud, Nasai).
kecuali 1/10, 1/9, 1/8, 1/6, 1/5, 1/4, 1/3,atau 1/2-nya” (HR Abu Daud, Nasai).
Jadi, dua kunci dasar untuk meraih shalat khusyu adalah:
- 1. Yakin, bahwa shalat khusyu dapat diraih oleh siapa saja. Tanpa keyakinan ini, maka gerbang menuju shalat khusyu tertutup rapat. Sebab, seseorang akan berusaha mendapatkan sesuatu hanya untuk sesuatu yang yakin dapat diraihnya, bukan?
- 2. Gigih dalam belajar shalat khusyu. Kegigihan inilah yang menentukan tingkat keberhasilan kita. Jika kita malas dan asal-asalan dalam belajar shalat, jangan pernah bermimpi dapat meraih nikmatnya shalat khusyu.
Dinasti Umayyah
Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Umayah
Pasca Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Peta kekuasaan Dinati Umayah |
Bani Umayyah berasal dari nama “ umayyah bin abdi syam bin abdul manaf” , di mana hasyim masih keturunan abdul manaf dan antara kedua nya selalu bertikai dalam memperolaeh kekuasaan sehingga sampai pada keturunan nya pun tidak pernah ada kekompakan antara keduanya.
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti umayah menjadi dua yaitu pertama, Dinasti Umayah yang dirintis dan didirikan oleh muawiyah bin abi sufyan yang berpusat di damaskus (siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki ).Dan kedua , dinasti bani umayah di andalusia (siberia) yang pada awal nya merupakan wilayah taklukkan umayah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman walid bin abdul malik, kemudian di ubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan dinasti bani umayah di damaskus.
Perintisan dinasti umayah dilakukan oleh muawiyah dengan cara menolak membai’at ali,ber perang melawan ali,dan melakukan perdamaian (tahkim ) dengan pihak ali yang secara politik sangat menguntungkan mu’awiyah. Kebeuntungan mu’awiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak khawarij membunuh khalifah ali R.A.jabatan khalifah setelah Ali R.A.wafat, di pegang oleh putranya selama bebera bulan . akan tetapi , karena tidak di dukung oleh pasukan yang kuat, sedangkan pihak mu’awiyah semakin kuat. Akhirnya mu’awiyah melakukan perjanjian dengan Hasan bin ali.Isi perjaanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan di serahkan kepada umat islam setelah masa mu’awiyah berahir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 661 M. (41 H ).dan tahun tersebut di sebut am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan umat islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik, yaitu mu’awiyah dan mu’awiyah mengubah sistem khilafah menjadi kerajaan.
Pada masa itu, Umat islam telah bersentuhan dengan peradaban persia dan bizantium. Oleh karena itu, mu’awiyah juga bermaksud meniru suksesi kepemimpinan yang ada di persia dan bizantium yaitu monarki ( kerajaan ).Akan tetapi , mu’awiyah tetap menggunakan gelar khalifah untuk pemimpin pusat dengan makna konotatif yang di perbaharui.
Jika pada zaman khalifah yang empat , khalifah (pengganti) yang di maksudkan adalah khalifah Rasul S.A.W. (khalifah al rasul) adalah pemimpin masyarakat;sedangkan pada zaman bani umayyah, yang di maksudkan adalah khalifah Allah yaitu pemimpin atau penguasa yang di angkat oleh Allah.
Nama-nama raja-raja yang berkuasa pada dinasti Umayyah I ini berjumlah 14,
antara lain :
- Mu’awiyah I bin Abi Sufyan (41-61H/661-680M)
- Yazid bin Mu’awiyah (61-64H/680-683M)
- Mu’awiyah II bin Yazid (64-65H/683-684M)
- Marwan bin Hakam (65-66H/684-685M)
- Abdul Malik bin Marwan (66-86H/685-705M)
- Al-Walid bin Abdul Malik (86-97H/705-715M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (97-99H/715-717M)
- Umar bin Abdul Azis (99-102H/717-720M)
- Yazid bin Abdul Malik (102-106H/720-724M)
- Hisyam bin Abdul Malik (106-126H/724-743M)
- Al-Walid II bin Yazid (126-127H/743-744M)
- Yazid III bin Walid(127H/744M)
- Ibrahim bin Malik (127H/744M)
- Marwan II bin Muhammad (127-133H/744-750M)
Sang Imam Syafi'i
Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau. Di Yaman nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang Syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu haidts. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, aqidah, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
- Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
- Siyar A’lam an-Nubala’
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-’Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
***
Sumber: Majalah Fatawa
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
About Ibnu Rusyd
| ||
IBNU RUSYD
Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad lahir di Kardova pada tahun 1126. Beliau ahli falsafah yang paling agung pernah dilahirkan dalam sejarah Islam. Pengaruhnya bukan sahaja berkembang luas didunia Islam, tetapi juga di kalangan masyarakat di Eropah. Di Barat, beliau dikenal sebagai AverroesKeturunannya terdiri daripada golongan yang berilmu dan ternama. Bapanya dan datuknya merupakan kadi di Kardova. Oleh itu, beliau telah dihantar untuk berguru dengan Ibnu Zuhr yang kemudiannya menjadi rakan karibnya.
Ibnu Rusyd mempelajari ilmu fiqh dan perubatan daripada rakannya yang juga merupakan tokoh perubatan yang terkenal di Sepanyol, Ibnu Zuhr yang pernah bertugas di sebagai doktor istana di Andalusia.
Sebelum meninggal dunia, beliau telah menghasilkan bukunya yang terkenal Al Taysir. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Inggeris dengan judul Faclititation of Treatment.
Selain menjalin perhubungan yang akrab dengan Ibnu Zuhr, Ibnu Rusyd juga mempunyai hubungan yang baik dengan kerajaan Islam Muwahidin. Hubungan ini telah membolehkan Ibnu Rusy dilantik sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169. Dua tahun kemudian, beliau dilantik menjadi hakim di Kardova.
Selepas beberapa waktu menjadi hakim, beliau dilantik sebagai doktor istana pada tahun 1182 berikutan persaraan Ibn Tufail. Ramai yang berasa cemburu dan dengki dengan kedudukan Ibnu Rusyd. Kerana desakan dan tekanan pihak tertentu yang menganggapnya sebagai mulhid, beliau dibuang ke daerah Alaisano.
Setelah selesai menjalani tempoh pembuangannya, beliau pulang semula Kardova. Kehadirannya di Kardova bukan sahaja tidak diterima, tetapi beliau telah disisihkan oleh orang ramai serta menerima pelbagai penghinaan daripada masyarakatnya.
Pada lewat penghujung usianya, kedudukan Ibnu Rusyd dipulihkan semula apabila Khalifah Al-Mansor Al-Muwahhidi menyedari kesilapan yang dilakukannya. Namun, segala kurniaan dan penghormatan yang diberikan kepadanya tidak sempat dikecapi kerana beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1198.
Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahu.
Antara karya besar yang pernah dihasilkan oleh Ibnu Rusyd termasuklah "Kulliyah fit-Thibb" yang mengandungi 16 jilid, mengenai perubatan secara umum, Mabadil Falsafah (Pengantar Ilmu Falsafah), Tafsir Urjuza yang membicarakan perubatan dan tauhid, Taslul, buku mengenai ilmu kalam, Kasyful Adillah, yang mengungkap persoalan falsafah dan agama, Tahafatul Tahafut, ulasannya terhadap buku Imam Al-Ghazali yang berjudul Tahafatul Falaisafah, dan Muwafaqatil Hikmah Wal Syari'a yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan agama.
Siri karya tulisan tersebut menunjukkan betapa penguasaan Ibnu Rusyd dalam pelbagai bidang dan cabang ilmu begitu ketara sekali sehingga usaha untuk menterjemahkan tulisan beliau telah dilakukan ke dalam bahasa lain. Buku "Kulliyah fit-Thibb" telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1255 oleh Bonacosa, orang Yahudi dari Padua.
Kemudian buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul General Rules of Medicine. Hasil pemikiran yang dimuatkan dalam tulisannya, terutamanya dalam bidang falsafah, telah mempengaruhi ahli falsafah Barat. Dua orang ahli falsafah Eropah, iaitu Voltaire dan Rousseau dikatakan bukan sekadar terpengaruh oleh falsafah Ibnu Rusyd, tetapi memperolehi ilham daripada pembacaan karyanya.
Pemikiran Voltaire dan Rousseau telah mencetuskan era Renaissance di Perancis sehingga merobah wajah Eropah keseluruhannya sebagaimana yang ada pada hari ini. Masyarakat Barat sebenarnya terhutang budi kepada Ibnu Rusyd keranapemikirannya, sama ada secara langsung ataupun tidak langsung, telah mencetuskan revolusi di benua Eropah.
Pemikirannya memungkinkan masyarakat di sana keluar daripada zaman kegelapan menuju era kemajuan industri yang pesat. Hospital Les Quinze-Vingt yang juga merupakan hopital pertama di Paris didirikan oleh Raja Louis IX berdasarkan model hospital Sultan Nuruddin di Damsyik yang kaedah perubatannya merupakan hasil daripada idea dan pemikiran Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd juga telah menulis sebuah buku mengenai muzik yang diberi judul "De Anima Aristoteles" (Commentary on the Aristotle's De Animo). Hasil karyanya ini membuktikan betapa Ibnu Rusyd begitu terpengaru dan tertarik oleh ilmu logik yang dikemukakan oleh ahli falsafah Yunani, Aristotle.
Pembicaraan falsafah Ibnu Rusyd banyak tertumpu pada persoalan yang berkaitan dengan metafizik, terutamanya ketuhanan. Beliau telah mengemukakan idea yang bernas lagi jelas, dan melakukan pembaharuan semasa membuat huraianya mengenai perkara tersebut.
Pembaharuan ini dapat dilihat juga dalam bidang perubatan apabila Ibnu Rusyd memberi penekanan tentang kepentingan menjaga kesihatan. Beberapa pandangan yang dikemukakan dalam bidang perubatan juga didapati mendahului zamannya. Beliau pernah menyatakan bahawa demam campak hanya akan dialami oleh setiap orang sekali sahaja.
Kehebatannya dalam bidang perubatan tidak berlegar di sekitar perubatan umum, tetapi juga merangkum pembedahan dan fungsi organ di dalam tubuh manusia.
Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Ibnu Rusyd turut menjangkau bidang yang berkaitan dengan kemasyarakatan apabila beliau cuba membuat pembahagian masyarakat itu kepada dua golongan iaitu golongan elit yang terdiri daripada ahli falsafah dan masyarakat awam.
Pembahagian strata sosial ini merupakan asas pengenalan pembahagian masyarakat berdasarkan kelas seperti yang dilakukan oleh ahli falsafah terkemudian, seperti Karl Max dan mereka yang sealiran dengannya.
Apabila melihat keterampilan Ibnu Rusyd dalam pelbagai bidang ini, maka tidak syak lagi beliau merupakan tokoh ilmuwan Islam yang tiada tolok bandingannya. Malahan dalam banyak perkara, pemikiran Ibnu Rusyd jauh lebih besar dan berpengaruh jika dibandingkan dengan ahli falsafah yang pernah hidup sebelum zamannya ataupun selepas kematiannya.
| ||
Langganan:
Postingan (Atom)