My Blog List

About this blog

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
ANTROPOLOGI
Manusia tidak bisa dipisahkan dari budaya. Keduanya melekat, tidak dapat saling menghindar. Karena dimanapun manusia berpijak maka budaya yang akan menyapanya.
Lihat profil lengkapku

Followers

Followers

RSS

biografi Ibnu Sina (Avicenna)

BIOGRAFI dan HASIL PEMIKIRAN dari IBNU SINA (AVICENA)
BIOGRAFI
        Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibn Sina. Dalam dunia Barat beliau dikenal dengan nama Avvicenna.[2] Ia lahir pada Shafar 370 H/Agustus 980 M di Ifsyina (negeri kecil dekat Charmitan)[3], suatu tempat dekatBukhara.[4] Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.[5]Beliau dibesarkan diBukharaia serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan berhasil menghafal Al-Qur’an.[6] Dari Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika untuk mempelajari buku Isagoge danPorphyryEucliddan Al-MagestPtolemus. Setelah itu ia mendalami ilmu agama dan metafisika Plato dan Arsitoteles.Dengan kekuatan kecerdasannya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, ia berhasil memahami metafisika-nya Arisstoteles, ketika ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li Aristho -nya Al-Farabi.[7]
       Ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Meskipun secara teori ia belum matang, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam mengobati orang-orang sakit.[8]Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk, maka didalam tidurnya itu Tuhan memberikan pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.[9]
         Umur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat akses untuk mengunjungi perpustakaan istanayang terlengkap yaitu Kutub Khana.[10] Perpustakaan tersebut terbakar dan orang-orang menuduh Ibn Sina sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.[11]
      Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia juga orang yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia juga yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa yang kini disebut psikoterapi .
     Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan-peperangan yang merajalela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[12]
       Selain sebagai filosof dan dokter, iajugadi kenal sebagai penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, logika, kedokteran dan kimia, ia tulis dalam bentuk syair. Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Orang-orang Eropa mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai referensi dipelbagai universitas.Oleh karena itu nama Ibnu Sina pada abad pertengahan sangat berpengaruh di Eropa.[13] Ia meninggal pada tahun 428 H (1037 M) di Hamdzan.[14]
KARYA – KARYA
      Karya-karya Ibnu Sina yang termasyhur dalam Filsafat adalah As-ShifaAn-Najat dan Al-IsyaratAn-Najatadalah ringkasan dari kitab As-ShifaAl-Isyarat, berisikan tentang logika dan hikmah. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan- karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.[15]
      Walaupun ia sibuk dengan soal negara, tetapi ia berhasil menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur dalam bidang kedokteran adalah “Al-Qanun”  yang berisikan pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universitas Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam.[16]
      Diantara karangan – karangan Ibnu Sina adalah :
  1. Buku mengenai politik seperti: Risalah As-Siyasah, Fi Isbati an-Nubuwah, Al-Arzaq,
  2. Buku mengenai Tafsir seperti: Surah al-Ikhlas, Surah al-Falaq, Surah an-Nas, Surah al-Mu’awizataini, Surah al-A’la.
  3. Buku Psikologi seperti: An-Najat.
  4. Buku ilmu kedokteran seperti: Al-Qanun fi al-Thibb[17], al-Urjuzah fi At-Tibi, al-Adwiyah al-Qolbiyah, Kitabuhu al-Qoulani, Majmu’ah Ibn Sina al-Kubra, Sadidiyya.
  5. 5.      Buku tentang Logika seperti: Al-Isyarat wat Tanbihat, al-Isyaquji, Mujiz, Kabir wa Shaghir[18].
  6. Buku tentang musik seperti: Al-Musiqa.
  7. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
  8. 8.      Buku Fisika seperti: fi Aqsami al-Ulumi al-Aqliyah
  9. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
  10. Buku filsafat seperti As-Syifa’, Hikmah al-Masyiriqiyyin[19], Kitabu al-Insyaf[20],Danesh Nameh, Kitabu al-Hudud[21], Uyun-ul Hikmah[22].
  11. dan sebagainya.[23]
       Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum-minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum-minuman keras dilarang karena bisa menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum-minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan.
PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA
1. Filsafat Wujud Ketuhanan.
Dalam paham Ibnu Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi :
1)      Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud  (impossible being). Contohnya rasa sakit.
2)      Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3)      Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkanmumkin al wujud.[24]
     Dalam pembagian wujud wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun antara lain: baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim).[25] Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada “hadits” dan “qadim” sehingga, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib.[26] Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina telah menyatakan sejak awal “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.[27]
       Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
 “Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
            Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najat (hal. 372) dijelaskan bahwaadanyawajib wujud(Tuhan) itu adalah keseharusan dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain, dan semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru.Perbuatan Allah telah selesai sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
       Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak mempunyai tujuan apapun. Sehingga adanya alam merupakan perbuatan mekanis belaka atas adanya wajib al-wujud.
      Ketiga, jika perbuatan Ilahi telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, maka akan terbentuk “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
      Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti: shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub ‘anhu (wajib darinya). Hal ini digunakan oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.[28]
  1. Filsafat Jiwa
     Ibnu Sina memberikan perhatian yang khusus terhadap pembahasan tentang jiwa, Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai konsep sendiri dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
     Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika dia lebih mendekati pendapat-pendapat filosof modern.[29]Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa.Sebagaimana Al-Farabi,iajuga menganut faham emanasi (pancaran). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
       Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujud-nya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujud-nya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.[30]Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujud-nya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujud-nya timbul di langit.
       Secara garis besar Jiwa dapat dibagi menjadi dua segi yaitu:
1)      Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia).[31]
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
a)      Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai daya:Makan (nutrition), Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction)
b)      Jiwa binatangmempunyai daya:Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian :
  1. Menagkap dari luar dengan panca indera. Terdiri dari lima unsur; sentuh, perasa, pencium, penglihatan, pendengaran.[32]
  2. Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam. Terdiri dari lima indera; indra al-hiss al-musytarakberfungsi menerima segala yang ditangkap oleh indera luar, indra al-khayyalberfungsi menyimpan apa yang ditangkap indera bersama, indera al-mutakhayyilatberfungsi menyusun apa yang disimpan oleh khayyal, indera estimasi berfungsi menangkap hal-hal yang abstrak. Seperti  menghindari sesuatu yang dibenci oleh hewan tersebut, dan indera rekoleksi berfungsi menyimpan hal-hal abstrak yang diterima dari estimasi.[33]
c)      Jiwa manusia mempunyai daya :
Daya Praktis berhubungan dengan badan dan daya Teoritis berhubungan dengan hal-hal abstrak.Daya teoritis  mempunyai tingkatan:
  1. Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
  2. Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
  3. Akal aktual, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
  4. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[34]
2)      Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud jiwa dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[35]
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu
a)      Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa- peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan.
 Gerak ada dua macam yaitu :
  1. Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
  2. Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a)      Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya sesuatu dari atas ke bawah.
b)      Gerak diam benda yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badan seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang di udara, seharusnya jatuh atau tetap di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut adalah jiwa.
      Pengenalan tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles.Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-unsurnya).
    Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur-unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat-alat (mesin-mesin) tersebut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab-kitab yang dikarang, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi-segi pikiran dan jiwa.[36]
b)      Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
      Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluaratau saya tidur , maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.[37]
c)      Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
       Dalil ini mengatakan bahwa masa sekarang mempunyai hubungan dengan masa lampau dan masa depan. Kehidupan ruh pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan ruh yang kemarin, bahkan kehidupan yang terjadi sekarang ada hubungannya dengan kehidupan yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Perubahan tersebut saling berhubungan  karena adanya jiwa.Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam.[38]
d)     Hukum Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
     Dalil ini adalahn yang paling jelas menunjukkan intelektualitas Ibnu Sina. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan. Dalil tersebut sebagai berikut: jika ada seseorang yang bisa menggantungkan dirinya di udara dan tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan.Kemudian ia menutup matanya dan tidak melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya. Maka orang tersebut akan menyadari bahwa dirinya itu ada.Jika ia memikirkan tentang wujud adanya tangan dan kakinya, berarti wujud penggambaran dirinya membuktikan bahwa eksistensi jiwa dalam organ itu ada.[39]
      Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.[40]
C. Falsafat Wahyu dan Nabi
      Gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Perbedaan antara nabi dan filosof yang telah dijelaskan oleh Sirajuddin[41]bahwa seorang nabi adalah manusia pertama, manusia pilihan Tuhan dan tidak peluang bagi filosof untuk menjadi nabi. Sedangkan filosof adalah menusia kedua, manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi nabi.
      Dari yang telah dijelaskan sebelumnya, akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil dan tingkatan akal yang terberat adalah akal mustafad. Kebenaran filosof didapat melalui akal mustafad karena perolehan ilham yang merupakan sebuah perjuangan dan latihan yang keras. Sedangkan kebenaran nabi didapat dari malaikat Jibril yang berhubungan dengan nabi melalui akal materiil yang disebut hads(kekuatan suci). Kebenaran nabi itulah yang dinamakan wahyu.[42]
            Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.[43]
PENUTUP
-          Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
-          Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.
-          Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
-          Pemikiran tentang kenabian menjelaskan bahwa nabi merupakan manusia yang paling unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.
DAFTA PUSTAKA
Azwar. 2007. Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa. Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Al-Ahwan, Ahmad Fuad. 1984. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Daudy, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Daudy, Ahmad.1984. Segi – Segi Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad. 1986. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun.1996. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia.
Nasution, Harun.1992. Falsafat dan Msitisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Husein, Oemar Amin.1975. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Syarif, MM. 1994.Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
Dasoeki,Thawil Akhyar.1993.Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Dina Utama Semarang.
Abidin, AhmadZaenal.1949. Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia. Jakarta: Bulan Bintang.
Munawir, Imam. 1985. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa.Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Corbin,Henry. Tanpa tahun. History of Islamic Philosophy.  London and New York in association with islamic publications for the institute of ismaili studies London.
Zar,Sirajuddin. 2009.Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT RajaGrafindo persada.

[1]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim , (Bandung, Mizan, 1994), hlm. 101. Lihat juga Ahmad Fuad Al-Ahwani,Filsafat Islam, (Pustaka Firdaus, 1984), hlm. 63.
[2]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa. Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007, hlm 13-14.
[3]Ibid, hlm 13.
[4]Henry Corbin, History of Islamic Philosophy.  London and New York in association with islamic publications for the institute of ismaili studies London, hlm. 167.
[5]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia, 1996), hlm. 50
[6]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), hlm. 60.
[7]H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang, 1949), hlm. 49
[8]Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 115. Lihat juga  Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hlm. 65.
[9]Ibid
[10]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm. 93.
[11]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm. 34.
[12]Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), hlm. 332 – 333.
[13]Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam , (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 112 -113.
[14]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm 15.
[15]Ibid
[16]Nasir Masruwah, taufik Falsafah Al-Islamiyah, hlm. 119.
[17]Buku ini dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
[18]Menerangkan tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
[19]Dalam Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang.
[20]Buku tentang Keadilan Sejati.
[21]Berisikan istilah – istilah dan pengertian – pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat
[22]Terdiri atas 10 jilid.
[23]Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 37-39. Lihat juga Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm 21.
[24]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 39-40
[25]SirajuddinZar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2009), hlm. 98-99.
[26]Ahmad Daudy, Segi – Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam , (Jakarta : Bula Bintang, 1984), hlm. 42
[27]Ibid.
[28]Ibid, hlm. 44 – 46.
[29]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 125 – 126.
[30]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 34-35.
[31]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm 104.
[32]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm. 38-39.
[33]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm 105.
[34]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya,hlm. 105-106.
[35]Ibid.
[36]Ibid., hlm. 126 – 127.
[37]Ibid., hlm 127.
[38]Ibid.,hlm. 128 – 129.
[39]Ibid, hlm. 108
[40]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 37 – 38.
[41]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm. 95.
[42]Ibid
[43]Harun Nasution, Falsafat dan Msitisme dalam Islam,hlm. 115.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

biografi Ibnu Sina (Avicenna)

BIOGRAFI dan HASIL PEMIKIRAN dari IBNU SINA (AVICENA)
BIOGRAFI
        Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibn Sina. Dalam dunia Barat beliau dikenal dengan nama Avvicenna.[2] Ia lahir pada Shafar 370 H/Agustus 980 M di Ifsyina (negeri kecil dekat Charmitan)[3], suatu tempat dekatBukhara.[4] Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.[5]Beliau dibesarkan diBukharaia serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan berhasil menghafal Al-Qur’an.[6] Dari Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika untuk mempelajari buku Isagoge danPorphyryEucliddan Al-MagestPtolemus. Setelah itu ia mendalami ilmu agama dan metafisika Plato dan Arsitoteles.Dengan kekuatan kecerdasannya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, ia berhasil memahami metafisika-nya Arisstoteles, ketika ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li Aristho -nya Al-Farabi.[7]
       Ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Meskipun secara teori ia belum matang, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam mengobati orang-orang sakit.[8]Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk, maka didalam tidurnya itu Tuhan memberikan pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.[9]
         Umur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat akses untuk mengunjungi perpustakaan istanayang terlengkap yaitu Kutub Khana.[10] Perpustakaan tersebut terbakar dan orang-orang menuduh Ibn Sina sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.[11]
      Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia juga orang yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia juga yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa yang kini disebut psikoterapi .
     Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan-peperangan yang merajalela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[12]
       Selain sebagai filosof dan dokter, iajugadi kenal sebagai penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, logika, kedokteran dan kimia, ia tulis dalam bentuk syair. Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Orang-orang Eropa mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai referensi dipelbagai universitas.Oleh karena itu nama Ibnu Sina pada abad pertengahan sangat berpengaruh di Eropa.[13] Ia meninggal pada tahun 428 H (1037 M) di Hamdzan.[14]
KARYA – KARYA
      Karya-karya Ibnu Sina yang termasyhur dalam Filsafat adalah As-ShifaAn-Najat dan Al-IsyaratAn-Najatadalah ringkasan dari kitab As-ShifaAl-Isyarat, berisikan tentang logika dan hikmah. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan- karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.[15]
      Walaupun ia sibuk dengan soal negara, tetapi ia berhasil menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur dalam bidang kedokteran adalah “Al-Qanun”  yang berisikan pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universitas Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam.[16]
      Diantara karangan – karangan Ibnu Sina adalah :
  1. Buku mengenai politik seperti: Risalah As-Siyasah, Fi Isbati an-Nubuwah, Al-Arzaq,
  2. Buku mengenai Tafsir seperti: Surah al-Ikhlas, Surah al-Falaq, Surah an-Nas, Surah al-Mu’awizataini, Surah al-A’la.
  3. Buku Psikologi seperti: An-Najat.
  4. Buku ilmu kedokteran seperti: Al-Qanun fi al-Thibb[17], al-Urjuzah fi At-Tibi, al-Adwiyah al-Qolbiyah, Kitabuhu al-Qoulani, Majmu’ah Ibn Sina al-Kubra, Sadidiyya.
  5. 5.      Buku tentang Logika seperti: Al-Isyarat wat Tanbihat, al-Isyaquji, Mujiz, Kabir wa Shaghir[18].
  6. Buku tentang musik seperti: Al-Musiqa.
  7. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
  8. 8.      Buku Fisika seperti: fi Aqsami al-Ulumi al-Aqliyah
  9. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
  10. Buku filsafat seperti As-Syifa’, Hikmah al-Masyiriqiyyin[19], Kitabu al-Insyaf[20],Danesh Nameh, Kitabu al-Hudud[21], Uyun-ul Hikmah[22].
  11. dan sebagainya.[23]
       Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum-minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum-minuman keras dilarang karena bisa menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum-minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan.
PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA
1. Filsafat Wujud Ketuhanan.
Dalam paham Ibnu Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi :
1)      Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud  (impossible being). Contohnya rasa sakit.
2)      Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3)      Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkanmumkin al wujud.[24]
     Dalam pembagian wujud wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun antara lain: baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim).[25] Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada “hadits” dan “qadim” sehingga, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib.[26] Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina telah menyatakan sejak awal “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.[27]
       Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
 “Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
            Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najat (hal. 372) dijelaskan bahwaadanyawajib wujud(Tuhan) itu adalah keseharusan dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain, dan semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru.Perbuatan Allah telah selesai sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
       Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak mempunyai tujuan apapun. Sehingga adanya alam merupakan perbuatan mekanis belaka atas adanya wajib al-wujud.
      Ketiga, jika perbuatan Ilahi telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, maka akan terbentuk “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
      Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti: shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub ‘anhu (wajib darinya). Hal ini digunakan oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.[28]
  1. Filsafat Jiwa
     Ibnu Sina memberikan perhatian yang khusus terhadap pembahasan tentang jiwa, Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai konsep sendiri dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
     Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika dia lebih mendekati pendapat-pendapat filosof modern.[29]Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa.Sebagaimana Al-Farabi,iajuga menganut faham emanasi (pancaran). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
       Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujud-nya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujud-nya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.[30]Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujud-nya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujud-nya timbul di langit.
       Secara garis besar Jiwa dapat dibagi menjadi dua segi yaitu:
1)      Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia).[31]
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
a)      Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai daya:Makan (nutrition), Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction)
b)      Jiwa binatangmempunyai daya:Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian :
  1. Menagkap dari luar dengan panca indera. Terdiri dari lima unsur; sentuh, perasa, pencium, penglihatan, pendengaran.[32]
  2. Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam. Terdiri dari lima indera; indra al-hiss al-musytarakberfungsi menerima segala yang ditangkap oleh indera luar, indra al-khayyalberfungsi menyimpan apa yang ditangkap indera bersama, indera al-mutakhayyilatberfungsi menyusun apa yang disimpan oleh khayyal, indera estimasi berfungsi menangkap hal-hal yang abstrak. Seperti  menghindari sesuatu yang dibenci oleh hewan tersebut, dan indera rekoleksi berfungsi menyimpan hal-hal abstrak yang diterima dari estimasi.[33]
c)      Jiwa manusia mempunyai daya :
Daya Praktis berhubungan dengan badan dan daya Teoritis berhubungan dengan hal-hal abstrak.Daya teoritis  mempunyai tingkatan:
  1. Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
  2. Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
  3. Akal aktual, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
  4. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[34]
2)      Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud jiwa dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[35]
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu
a)      Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa- peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan.
 Gerak ada dua macam yaitu :
  1. Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
  2. Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a)      Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya sesuatu dari atas ke bawah.
b)      Gerak diam benda yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badan seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang di udara, seharusnya jatuh atau tetap di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut adalah jiwa.
      Pengenalan tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles.Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-unsurnya).
    Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur-unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat-alat (mesin-mesin) tersebut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab-kitab yang dikarang, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi-segi pikiran dan jiwa.[36]
b)      Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
      Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluaratau saya tidur , maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.[37]
c)      Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
       Dalil ini mengatakan bahwa masa sekarang mempunyai hubungan dengan masa lampau dan masa depan. Kehidupan ruh pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan ruh yang kemarin, bahkan kehidupan yang terjadi sekarang ada hubungannya dengan kehidupan yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Perubahan tersebut saling berhubungan  karena adanya jiwa.Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam.[38]
d)     Hukum Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
     Dalil ini adalahn yang paling jelas menunjukkan intelektualitas Ibnu Sina. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan. Dalil tersebut sebagai berikut: jika ada seseorang yang bisa menggantungkan dirinya di udara dan tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan.Kemudian ia menutup matanya dan tidak melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya. Maka orang tersebut akan menyadari bahwa dirinya itu ada.Jika ia memikirkan tentang wujud adanya tangan dan kakinya, berarti wujud penggambaran dirinya membuktikan bahwa eksistensi jiwa dalam organ itu ada.[39]
      Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.[40]
C. Falsafat Wahyu dan Nabi
      Gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Perbedaan antara nabi dan filosof yang telah dijelaskan oleh Sirajuddin[41]bahwa seorang nabi adalah manusia pertama, manusia pilihan Tuhan dan tidak peluang bagi filosof untuk menjadi nabi. Sedangkan filosof adalah menusia kedua, manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi nabi.
      Dari yang telah dijelaskan sebelumnya, akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil dan tingkatan akal yang terberat adalah akal mustafad. Kebenaran filosof didapat melalui akal mustafad karena perolehan ilham yang merupakan sebuah perjuangan dan latihan yang keras. Sedangkan kebenaran nabi didapat dari malaikat Jibril yang berhubungan dengan nabi melalui akal materiil yang disebut hads(kekuatan suci). Kebenaran nabi itulah yang dinamakan wahyu.[42]
            Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.[43]
PENUTUP
-          Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
-          Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.
-          Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
-          Pemikiran tentang kenabian menjelaskan bahwa nabi merupakan manusia yang paling unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.
DAFTA PUSTAKA
Azwar. 2007. Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa. Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Al-Ahwan, Ahmad Fuad. 1984. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Daudy, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Daudy, Ahmad.1984. Segi – Segi Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad. 1986. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun.1996. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia.
Nasution, Harun.1992. Falsafat dan Msitisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Husein, Oemar Amin.1975. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Syarif, MM. 1994.Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
Dasoeki,Thawil Akhyar.1993.Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Dina Utama Semarang.
Abidin, AhmadZaenal.1949. Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia. Jakarta: Bulan Bintang.
Munawir, Imam. 1985. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa.Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Corbin,Henry. Tanpa tahun. History of Islamic Philosophy.  London and New York in association with islamic publications for the institute of ismaili studies London.
Zar,Sirajuddin. 2009.Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT RajaGrafindo persada.

[1]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim , (Bandung, Mizan, 1994), hlm. 101. Lihat juga Ahmad Fuad Al-Ahwani,Filsafat Islam, (Pustaka Firdaus, 1984), hlm. 63.
[2]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa. Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007, hlm 13-14.
[3]Ibid, hlm 13.
[4]Henry Corbin, History of Islamic Philosophy.  London and New York in association with islamic publications for the institute of ismaili studies London, hlm. 167.
[5]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia, 1996), hlm. 50
[6]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), hlm. 60.
[7]H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang, 1949), hlm. 49
[8]Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 115. Lihat juga  Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hlm. 65.
[9]Ibid
[10]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm. 93.
[11]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm. 34.
[12]Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), hlm. 332 – 333.
[13]Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam , (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 112 -113.
[14]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm 15.
[15]Ibid
[16]Nasir Masruwah, taufik Falsafah Al-Islamiyah, hlm. 119.
[17]Buku ini dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
[18]Menerangkan tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
[19]Dalam Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang.
[20]Buku tentang Keadilan Sejati.
[21]Berisikan istilah – istilah dan pengertian – pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat
[22]Terdiri atas 10 jilid.
[23]Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 37-39. Lihat juga Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm 21.
[24]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 39-40
[25]SirajuddinZar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2009), hlm. 98-99.
[26]Ahmad Daudy, Segi – Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam , (Jakarta : Bula Bintang, 1984), hlm. 42
[27]Ibid.
[28]Ibid, hlm. 44 – 46.
[29]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 125 – 126.
[30]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 34-35.
[31]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm 104.
[32]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm. 38-39.
[33]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm 105.
[34]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya,hlm. 105-106.
[35]Ibid.
[36]Ibid., hlm. 126 – 127.
[37]Ibid., hlm 127.
[38]Ibid.,hlm. 128 – 129.
[39]Ibid, hlm. 108
[40]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 37 – 38.
[41]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm. 95.
[42]Ibid
[43]Harun Nasution, Falsafat dan Msitisme dalam Islam,hlm. 115.

0 komentar:

Posting Komentar